PRASANGKA BURUK KEPADA MBAH JONO
Namanya Ibu Aisyah, yang
sehari-harinya bekerja sebagai penjual sembako di rumahnya. Iya, Ibu Aisyah
membuka sebuah warung di depan rumahnya yang terletak di sebuah desa nan asri
dan masih dipenuhi dengan pesawahan. Setiap paginya Ibu Aisyah selalu pergi ke
pasar induk yang terletak di Kecamatan. Jarak rumah Ibu Aisyah dengan pasar
sekitar 3-4 km yang biasanya ditempuh oleh Bu Aisyah dengan sepeda motor.
Jangan ditanya seberapa
banyak belanjaan yang akan dibawa Bu Aisyah dengan sepeda motorya, tentu saja
depan belakang kanan kiri sepeda motor selalu penuh dengan belanjaan Bu Aisyah.
Sayur, buah, daging, kopi, kelapa, detergen, rokok, kue kiloan, dll selalu Bu
Aisyah beli demi memenuhi kebutuhan pelanggannya di rumah. Sikap ramah dan
polos Bu Aisyah membuat tetangga-tetangganya selalu belanja dan kembali lagi
untuk belanja di warung Bu Aisyah. Dan tentunya kelengkapan sembako yang dibuat
Bu Aisyah juga lah yang membuat customer kembali
lagi ke warung Bu Aisyah. Terkadang di warung Bu Aisyah juga diperbolehkan
untuk utang terlebih dahulu tanpa ada jangka waktu. Jadi dalam jual beli Bu
Aisyah lebih mengedepankan prinsip “kepercayaan dan kekeluargaan”. Satu hal
yang selalu dipegang oleh Bu Aisyah adalah ketika kita memudahkan urusan orang
lain maka percayalah urusan kita pun akan dipermudah juga. Hal itulah yang
menjadi motivasi Bu Aisyah dalam membuka warung sembakonya.
Hari ini, hari Sabtu
pagi ada yang berbeda dengan rutinitas Bu Aisyah sebelumnya. Biasanya Bu Aisyah
belanja sembako sendiri, tapi kali ini Bu Aisyah tidak sendiri. Bu Aisyah
ditemani oleh putrinya yang baru saja pulang dari tanah Sunda karena sedang
menimba ilmu disana. Putri Bu Aisyah ini bernama Zahra. Zahra adalah mahasiswa
tingkat akhir di salah satu universitas negeri di Tanah Sunda yang menimba ilmu
di jurusan Ekonomi Pertanian. Sabtu pagi yang cerah ini, Zahra mengantarkan
Ibunda tersayangnya, Bu Aisyah ke pasar untuk belanja kebutuhan warung.
Seperti biasanya dulu,
Zahra menunggu Bu Aisyah di parkiran belakang pasar. Zahra jadi teringat kata
Bapaknya, kalau parkir di belakang pasar tak usah membayar uang parkir karena
Bapak sudah membayar tukang parkir disana langsung untuk satu bulan. Waktu
Zahra mengantar Bu Aisyah ke pasar dan parkir dibelakang pasar, ternyata yang
menjaga parkir juga masih sama seperti dahulu yaitu Pak Jono, tapi sering
dipanggil “Mbah Jono” karena memang penjaga parkir itu sudah tua.
Sesampainya di tempat
parkir, Bu Aisyah langsung masuk pasar dan Zahra menunggu di tempat parkiran.
Karena sudah lama tidak menyapa Mbah Jono, Zahra mencoba mendekati Mbah Jono
yang tampaknya sedang melihatnya. Pikir Zahra sekalian duduk mungkin Zahra bisa
menyapa Mbah Jono dan menanyai kabarnya. Ketika sudah memperkenalkan diri kalau
Zahra adalah anak Bu Aisyah, Zahra pun duduk dibangku panjang depan Mbah Jono.
Mbah Jono sepertinya masih agak lupa dengan Zahra. Tapi sangat terlihat kalau
Mbah Jono mencoba mengingat dengan mengajukan beberapa pertanyaan ke Zahra
seperti Zahra putri Bu Aisyah yang kuliah itu bukan? yang dapat beasiswa
kuliahnya? yang kuliah di Tanah Sunda iya kan? Wah lagi libur ya nduk kok di sini? Udah berapa tahun
kuliah disana? Setelah semua pertanyaan tersebut sudah dijawab semua oleh
Zahra, akhirnya ingat juga Mbah Jono dengan Zahra.
Sambil menunggu Bu
Aisyah, Zahra ngobrol dengan Mbah
Jono terkait kondisi dan kabar-kabar daerah sekitar pasar yang sempat
diberitakan pernah terjadi kebakaran. Sangat bijak sekali jawaban Mbah Jono
dalam menanggapi berita tersebut. Tidak menyalahkan pihak manapun karena kata
Mbah Jono, “Namanya juga pasar ya banyak orang nduk, ndak tau itu sengaja atau ndak sengaja, memang orang dalam
pasar atau malah pemerintah atau oknum tertentu yang punya kepentingan. Yang
Penting sekarang sudah beres dan tidak ada korban yang terluka. Hanya perlu
hati-hati dan waspada aja.” Asyik ngobrol sama Mbah Jono, tiba-tiba ada
mbak-mbak yang memanggil untuk bayar parkir dengan suara yang agak pelan. Zahra
pun menyampaikan kepada Mbah Jono kalau ada yang hendak bayar parkir. Padahal
Mbah Jono juga melihat ke arah mbak-mbaknya tapi kok diam aja, makanya Zahra
coba menyampaikan juga ke Mbah Jono. Lalu Mbah Jono dengan polosnya bilang,
“cobo nduk mahasiswa kan, tolong
ambilin ya, biar belajar praktek juga jangan teori aja”. Baiklah, Zahra pun
menghampiri mbak-mbak yang hendak bayar parkir tadi. Dan tiba-tiba sesuatu
terjadi. Ada bapak-bapak dari sisi dalam pasar yang mencegah Zahra untuk
mengambil uang parkir tersebut. Bapak-Bapak tadi bilang dengan nada agak keras,
“eh eh eh, apa-apaan ini? Itu uang parkir saya kok mau diambil?” Seketika Zahra
kaget dan hanya terdiam sebentar kemudian langsung melihat ke Mbah Jono yang
hanya diam saja melihat ke arahnya. Zahra pun menjelaskan kalau Zahra diminta
bantuan Mbah Jono untuk mengambilnya. Kemudian bapak-bapak tadi menjelaskan
kalau itu uang parkirnya karena mbak tadi parkir di daerahnya sambil
menunjukkan batas daerah Mbah Jono dan Bapak tsb. Okelah, Zahra paham dan
berjalan kembali ke tempat bangku panjang tadi dia duduk. Zahra masih heran
kenapa Mbah Jono hanya diam saja ketika Zahra kena marah Bapak penjaga parkir
tadi, padahal Zahra sangat yakin kalau Mbah Jono itu melihat ke arahnya.
Setelah itu, Zahra
menjelaskan ke Mbah Jono kalau uang parkirnya diminta sama bapak parkir tadi.
Dan Mbah Jono pun menjelaskan hal yang sama seperti bapak parkir tadi hanya
saja nada dan bahasanya sesuai dengan Mbah Jono. Pikir Zahra kenapa gak
disampaikan daritadi sebelum Zahra kena marah bapak parkir? Yasudahlah abaikan.
Sedikit membuat Zahra illfeel. Sampai
sempat hening karena Zahra main hp dan Mbah Jono tidak mengajak ngobrol lagi.
Tiba-tiba Mbah Jono bertanya ke Zahra minta tolong dibelikan rokok ke warung di
pasar tersebut. Seketika Zahra jawab gak mau dengan bahasa yang halus tentunya
karena Zahra sendiri perempuan, jadi gak enak kalau harus Zahra yang membeli
rokoknya seakan-akan Zahra lah yang merokok. Sebenarnya gak enak dengan Mbah
Jono ketika menolak membantu Mbah Jono untuk membeli rokok. Tapi Zahra juga gak
mau dimanfaatkan lagi seperti sebelumnya sehingga Zahra kena marah. Mbah Jono
pun memahami jawaban Zahra yang tidak bisa bantu untuk membeli rokok. Pikir
Zahra kenapa orang-orang di pasar seperti itu, dari yang Mbah Jono sampai ke
Bapak parkir juga. Apakah sebegitu kerasnya sehingga karakter orang-orang pasar
jadi seperti itu. Sedih ketika menyaksikan hal tersebut dengan mata kepala
sendiri. Sekaligus membuat diri Zahra bersyukur karena Zahra besar di daerah
perdesaan yang sangat menjunjung tinggi etika dan selama kuliah pun Zahra
tinggal di Tanah Sunda yang sangat terkenal dengan kehalusannya.
Tiba-tiba memecahkan
lamunan Zahra, Mbah Jono bertanya lagi soal uang. Ada beberapa lembar uang
kertas yang Mbah Jono tunjukkan ke Zahra dan bertanya itu uang berapa. Ada yang
5000 dan 2000. Zahra menjelaskan kalau yang abu-abu itu yang tangan kiri mbah
Jono adalah uang kertas 2000 dan uang kertas cokelat yang ditangan kanan Mbah
Jono adalah uang 5000. Kemudian Mbah Jono memasukkan uang kertas tadi ke dalam
kantong bajunya. Pikir Zahra, apakah Mbah Jono buta huruf sehingga tidak tahu
itu uang berapa saja. Ya Allah hati Zahra sempat kaget kenapa di daerahnya
masih ada yang tidak bisa mengenali mata uang Indonesia.
Tak lama kemudian Bu
Aisyah datang dengan belanjaannya dan Zahra langsung mengambil motor yang tadi
diparkiran. Kemudian ditatalah belanjaan tadi di motor. Tak jauh dari tempat
parkir, lewatlah penjual gethuk
(senacam jajanan yang terbuat dari singkong). Mbah Jono memanggil penjual
tersebut dan tak lama dari itu ada seorang Ibu yang mendekati Mbah Jono sambil
memberikan gethuk Mbah Jono dan
mengambil uang dari Mbah Jono. Karna rasa penasaran, Zahra bertanya kepada Bu
Aisyah siapakah gerangan wanita tadi. Ternyata wanita tadi adalah anaknya Mbah
Jono. Dan kenapa Mbah Jono tidak beranjak dari tempat duduknya dan membeli
sendiri gethuk tadi?
Deg, seketika itu Zahra
baru sadar setelah Zahra melihat mata Mbah Jono yang sepertinya sudah tidak
fokus lagi. Apakah mata Mbah Jono . . .
Iya, Bu Aisyah bilang kalau Mbah Jono tidak
bisa melihat karena sudah tua. Bisa jadi hal itu karena katarak. Lantas kenapa
tidak ada yang memeriksakan Mbah Jono ke Rumah Sakit atau Puskesmas? Air mata
Zahra hampir saja jatuh, tapi Zahra tahan agar Bu Aisyah tidak melihatnya. Ya
Allah apa yang telah Zahra lakukan dari tadi. Zahra sudah su’udzon dengan Mbah
Jono yang sebenernya memang membutuhkan bantuan Zahra dan malah Zahra
berprasangka buruk kepadanya. Zahra berbicara dalam hati sembari mengendarai
motor bersama Bu Aisyah.
Rasa bersalah masih
hinggap dalam hati Zahra betapa tercelanya perbuatan yang baru saja Zahra
lakukan. Sama sekali tidak mencerminkan pribadi seorang muslim. Ya Allah
ampunilah dosa Zahra ya Allah. Ya Allah apunilah dosa Zahra Ya Allah. Ya Allah
ampunilah dosa Zahra ya Allah. Berulang kali Zahra memohon ampunan kepada Allah
dan selalu mendo’akan Mbah Jono agar segera disembuhkan serta semoga Mbah Jono
bisa melihat kembali seperti semula. Amin ya Allah.